Kamis, 07 Januari 2016

jurnal REVOLUSI MORAL MENUJU CIVIL SOCIETY



REVOLUSI MORAL MENUJU CIVIL SOCIETY
TUGAS
Disusun Guna Memenuhi Tugas
MataKuliah: PKN
Dosen Pengampu: Dr. Syamsul Ma’arif, M.Ag
Description: C:\Users\SAmsung\Documents\Fourth Semester PBI\logo.jpg

Disusun oleh:
Muntafi’ah                  (1403036093)

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
2015
Abstrak
            Bangsa Indonesia kini tengah terjerumus ke dalam lembah moralitas yang paling dalam. Tanda-tanda keruntuhan moral telah menampakkan dirinya diman-mana. Dari kekerasan yang paling kuno sampai yang paling canggih. Dari kriminalitas berdarah sampai penyelewengan hukum tanpa rasa malu, rasa ngeri, takut, sedih, penyesalan, tobat sebagai bagian dari struktur moral, seolah-olah telah terkikis dari nurani. Kita berada pada satu keadaan ketidakpastian moral pada satu titik ambiguitas moral.
Masyarakat, kemudian bergerak ke arah sebuah krisis legitimasi (moral), yaitu tidak lagi mendengar imbauan-imbauan moral pihak berwenang, karena penguasa itu sendiri justru sering mencontohkan tindakan-tindakan melanggar moral. Akibatnya, terjadi suatu gerakan pembebasan moral dari nilai-nilai moralitas yang ada.
Hal yang perlu dilakukan adalah mengubaha moral, supaya masyarakat sadar akan norma-norma atau nilai-nilai yang telah di buat bangsa ini untuk ditaati dan dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan di dalamnya.
Kata kunci: Moral dan Civil Society
Revolusi Moral
Moralitas masyarakat Indonesia kini kian menurun, tanda-tanda menurunnya moral menurut hembing Wijayakusumah (Rakyat Merdeka, 1999) telah menampakkan dirinya di mana-mana. Dari kekerasan yang paling kuno sampai paling canggih. Dari kriminalitas berdarah sampai penyelewengan hukum tanpa rasa malu, rasa ngeri, takut, sedih, penyesalan, tobat sebagai bagian dari struktur moral, seolah-olah telah terkikis dari nurani. Kita berada pada satu keadaan “ketidakpastian moral” (determinacy of moral)  pada satu titik ambiguitas moral.[1]
Sedangkan pengertian moral adalah suatu keyakinan tentang benar salah, baik dan buruk, yang sesuai dengan kesepakatan sosial, yang mendasari tindakan atau pemikiran. Jadi moral sangat berhubungan dengan benar salah, baik dan buruk, keyakinan, diri sendiri dan lingkungan sosial.
Jika kita lihat kenyataan sekarang Moralitas benar-benar mengalami Kemerosotan, hal itu dapat dilihat dari beberapa contoh berikut antara lain: pemerkosaan, pelecehan seksual, penggunaan narkoba, korupsi merajalela, dari mulai penguasa di daerah sampai penguasa di pusat, kalau penguasanya saja melakukan pelanggaran seperti itu apalagi masyarakatnya, pasti akan semakin parah. Jika hal tersebut dilakukan terus maka masyarakat tidak akan percaya lagi terhadap penguasa. Vidio-vidio porno yang terus diproduksi, baik vidio yang memang diproduksi untuk kepentingan komersial maupun vidio yang awalnya hanya untuk kepentingan pribadi tapi terpublikasikan secara umum. Salah satu akibat dari adanya kejadian tersebut karena faktor perkembangan teknologi, contohnya HP, hampir semua orang memiliki HP dari mulai anak-anak yang masih di bawah umur sampai orang tua. Padahal yang kita tahu HP itu berpengaruh negatif terhadap cara berpikir seseorang karena masalah apapun dapat diakses di HP tersebut.
Contoh lain yang mungkin setiap hari kita lihat, bahkan kita sendiri melakukannya, yaitu pelnggaran lalu lintas, tidak memakai helm saat berkendara, bocengan 3 orang, tidak memiliki SIM ( Surat Izin Mengemudi), Belum lagi akhir-akhir ini yang sering muncul di layar televisi adalah masalah prostitusi para artis itu merupakan contoh-contoh pelanggaran akibat merosotnya moralitas bangsa.
Sebenarnya ada beberapa masalah yang memengaruhi turunnya moralitas masyarakat sepertia contoh di atas,  antara lain:
1.      Longgarnya pegangan terhadap agama.
2.      Kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh keluarga, sekolah maupun masyarakat
3.      Berkembangnya budaya materialistis, hedonistis dan sekularistis
4.      Pemerintah belum memiliki kemauan yang sungguh-sungguh dalam melakukan pembinaan moral bangsa
5.      Salah pergaulan
6.      Keinginan untuk mengikuti tren.
Permasalahan tersebut harus segera di atasi, dengan cara merevolusi/ mengubah moralitas masyarakat dengan cara menciptakan pemerintahan yang bersih, menumbuhkan etika yang baik. Hal itu harus segera di atasi melalui sistem pendidikan, antara lain:
1.      Pendidikan ini akan menyentuh alam kognitif seseorang. Dunia pendidikan menawarkan nilai-nilai dasar moral yang mesti dijunjung tinggi dalam kehidupan, nilai- nilai ini berhubungan dengan kesadaran dan manusia sebagai subjek dan sekaligus makhluk sosial
2.      Menyalurkan nilai-nilai etika ke dalam kegiatan intra dan ekstrakulikuler. Melalui permainan tertentu, peserta didik kita dewasa ini tidak lagi belajar hanya dengan mendengarkan apa yang disampaikan pendidik, namun mereka akan lebih cepat dengan melihat apa yang dilakukan oelh si pendidik.[2]
Untuk menjadikan pemerintahan yang bersih agar terhindar dari korupsi, maka penguasanya harus memiliki karakteristika antara lain: berkepribadian kuat, bertaqwa, lemah lembut kepad rakyat, penggembira dan tidak menjadi seorang munafik suka mengahardik serta suka membuat kebencian rakyat. karena dengan cara tersebut perjalanan pemerintahan akan berjalan dengan lancar.
Civil Society
Pengertian Civil Society menurut Ashab Mahasin adalah aneka kelompok masyarakat yang tidak tercakup dalam institusi dan aparat Negara, tapi karena kepentingannya terlibat, langsung atau tidak langsung dalam interaksi dan penentuan kebijaksanaan publik, rumusan ini terpaksa memasukkan unsur Negara didalamnya.[3]
Pendapat lain mengatakan bahwa Civil Society merupakan  kelompok masyarakat yang jamak dan plural, artinya komposisinya tidak satu jenis saja baik agama, etnis, ras, dan lainnya, melainkan bisa bermacam-macam, atau bisa disebut sebagai suatu masyarakat yang citranya dapat digambarkan sebagai praktika demokrasi yang nyata.
Dari kedua pengertian di atas dapat kita gambarkan bahwa adanya Civil Society mengarah pada masyarakat yang demokrasi didasarkan pada hukum yang ada, dalam artian rakyat mempunyai hak untuk menetukan pilihan sesuai hati nuraninya, tanpa harus diintervensi atau dipaksa oleh pihak lain. Rakyat mempunyai hak untuk berbeda pendapat tanpa takut dianggap sebagai musuh. Rakyat mempunyai hak menyuarakan pendapat tanpa diancam untuk dipenjara. Rakyat merdeka memasuki serikat organisasi apapun yang dipilih tanpa takut berbeda dengan keluarga, teman, atau dengan atasan di kantornya. Rakyat boleh memasuki partai politik yang dipilihnya tanpa harus takut dipecat dari sumber pendapatan sehari-hari. Rakyat yang patuh terhadap hukum yang dibuatnya melalui wakilnya. rakyat benar-benar hidup dalam masyarakat yang demokratis dalam suasana dan iklim yang demokratis dan taat hukum, [4]menuju ranah tersebut harus sesuai dengan karakteristik Civil Society, antara lain: Wilayah Publik yang Bebas, demokrasi, toleransi, kemajemukan dan keadilan sosial.[5]
Untuk Civil Society di Indonesia, menurut Rahardjo, masih merupak lembaga-lembaga yang dihasilkan oleh sistem politik represif. Ciri kritisnya lebih menonjol dari pada ciri konstruktifnya, lebih banyak melakukan protes dari pada mengajukan solusi, lebih banyak menuntut dari pada memberikan sumbangan terhadap pemecahan masalah.
Sedangkan menurut AS. Hikam, karakter Civil Society si Indonesia masih sangat bergantung terhadap negara sehingga selalu berada pada posisi subordinat, khususnya bagi mereka yang berada pada strata sosila bawah. Karena itu, menurut Hikam, dalam konteks pengembangan demokrasi kenyataan ini merupakan tantangan mendesak untuk memperlancar proses demokratisasi.[6]
Untuk mengubah situasi tersebut pertama kali bisa dilakukan oleh mahasiswa, kareana mahasiswa merupakan salah satu komponen strategis bangsa Indonesia dalam pengembangan demokrasi dan Civil Society. Peran stategis mahasiswa dalam proses perjuangan reformasi menumbangkan rezim otoriter seharusnya ditindaklanjuti dengan keterlibatan mahasiswa dalam proses demokratisasi bangsa dan pengembangan Civil Society di Indonesia. Sebagai bagian dari kelas menengah, mahasiswa mempeunyai tugas dan tanggungjawab terhadap nasisb masa depan demokrasi dan Civil Society. Sikap dan tanggungjawab itu dapat diwujudkan dengan pengembangan sikap-sikap demokratis, toleran, dan kritis dalam perilaku sehari-hari.
Sikap demokratis salah satunya bisa diekspresikan melalui peran aktif mahasiswa dalam proses pendemokrasian semua lapisan masyarakat melalui cara-cara dialogis, santun, dan bermartabat. Sikap toleran bisa ditunjukkan diantaranya, dengan sikap menghargai perbedaan pandangan, keyakianan, dan tradisi orang lain dengan kesadaran tinggi bahwa perbedaan adalah rahmat Tuhan yang harus disyukuri, dipelihara, dan dirayakan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun sikap kritis dapat dilakukan dengan mengamati, mengkritisi, dan mengontrol pelakasanaan kebijakan pemerintah atau lembaga publik terkait, khususnya kebijakan yang behubungan langsung dengan hajat orang banyak dan masa depan bangsa. Sejalan dengan sikap ini, keterlibatan mahasiswa dalam menyuarakan isu-isu strategis bangsa, seperti mutu pendidikan, pendidikan murah, disiplin nasional, pemberantasan korupsi, KKN, isu-isu lingkungan hidup yang terkait dengan perubahan iklim global. Sejak demokrasi menghajatkan partisipasi warga Negara menyuarakan aspirasi masyarakat secara santun dan tertib merupakan salah satu sumbangan penting bagi pembangunan demokrasi bekeadaban di Indonesia. Demokrasi berkeadaban tidak mungkin tercapai tanpa praktik-praktik demokrasi yang santun di kalangan warga Negara. Dalam konteks ini, demokrasi tidak lain merupakan sarana untuk mewujudkan Civil Society. Selain itu, kita dapat melakukan gerakan sosial untuk membangun kembali Civil Society bangsa ini.
Gerakan sosial dapat diartikan sebagai suatu perubahan sosial yang didasari oleh pembagian tiga ranah, yaitu Negara, perusahaan atau pasar, dan masyarakat sipil. Berdasarkan pembagian ini, maka terdapat gerakan politik yang berada diranah Negara dan gerakan ekonomi di ranah ekonomi. pembagian ini telah dibahas oleh Sidney Tarrow yang melihat political Parties  berkaitan dengan gerkan politik, yaitu sebagai upaya perebutan dan penguasaan jabatan politik oleh partai politik melalui pemilu. Sementara itu, gerkan ekonomi berkaitan dengan lobby di mana terdapat upaya melakukan perubahan kebijakan public tanpa harus menduduki jabatan publik tersebut. [7]
Bedasarkan pemetaan di atas, secara empiris ketigannya bisa saling bersinergi. Pada ranah Negara dapat terjadi beberapa gerakan politik yang dilakukan oleh parpol dalam pemilu yang mengususng masalah yang didukung oleh gerakan sosial, demikian juga upaya lobby dalam ranah ekonomi seolah-olah sebagai gerkan sosial. sebagai contoh, gerakan sosial oleh Civil Society seperti mereka yang pro atau anti Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi mempunyai kaitan dengan kelompok atau parpol di ranah politik maupun kelompok bisnis pada sisi yang lain.
Selain definisi gerakan sosial yang berada di ranah Civil Society, maka para aktor atau kelompok yang terlibat pun perlu diperjelas pengertian dan cakupannya. Selam ini ada yang memandang bahwa organisasi nonpemerintah sipil. Namun sebenarnya organisasi non pemerintah hanya merupakan salah satu dari organisasi masyarakat yang berdampingan dengan organisasi massa, media, lembaga pendidikan, den lembaga lain yang tidak termasuk pada ranah politik dan ekonomi.
Dengan demikian mengubah moral bangsa itu diperlukan supaya masyarakat sadar akan kepentingan dirinya di dalam tatanan kenegaraan. Gunanya untuk meningkatkan kemajuan bangsa ini, selain itu juga ketika masyarakat itu sadar untuk mentaati nilai-nilai yang telah ditentukan, akan berdampak pada meningkatkan pembangunan politik. Karena Masyarakat memiliki peran untuk sosialisasi, pendidikan dan distribusi informasi secara transparan, berimbang dan lugassebagai wujud pembelajaran kolektif demi menegakkan kepentinga bersama. Transparansi informasi mengenai anggaran belanja, kekayaan dan penghasilan pejabat, pers yang otonom, oraganisasi masyarakat sipil yang dapat mengakses informasi[8]
                 Kesimpulan
            Pengertian Revolusi Moral adalah suatu perubahan cepat pada nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tinggkah lakunya. Salah satu pentingnya revolusi mental karena Longgarnya pegangan terhadap agama, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh keluarga, sekolah maupun masyarakat, berkembangnya budaya materialistis, hedonistis dan sekularistis, pemerintah belum memiliki kemauan yang sungguh-sungguh dalam melakukan pembinaan moral bangsa, salah pergaulan dan keinginan untuk mengikuti tren.
Civil Society merupakan  kelompok masyarakat yang jamak dan plural, artinya komposisinya tidak satau jenis saja baik agama, etnis, ras, dan lainnya, melainkan bisa bermacam-macam, atau bisa disebut sebagai suatui masyarakat yang citranya dapat digambarkan sebagai praktika demokrasi yang nyata, karakteristik Civil Society antara lain: Wilayah Publik yang Bebas, demokrasi, toleransi, kemajemukan dan keadilan sosial.
Civil Society di Indonesia ini mengalami penurunan akibat moral bangsa yang turun, padahal Civil Society mempengaruhi pembangunan politik, untuk mengatasi hal tersebut dilakukan gerakan sosial untuk membangun kembali Civil Society bangsa ini.









Daftar Pustaka
Hadiwijoyo, Suryo Sakti, Negara, Demokrasi dan Civil Society, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012)
Hidajah, SitiHidajatul, BirokrasidanPembentukan Civil Society AnalisisPerandanFungsiBirokrasi di Indonesia, (Surabaya: Pukad-Hali, 2004)
Suwondo, Civil Society di aras Lokal Kutut, (Salatiga: Pustaka Percik,2005).
Thoha, Miftah , Birokrasi dan Politik di Indonesia, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2003)
Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila, HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Indonesian Center for Civic Education, 2012)






[1] Suwondo, Civil Society di aras Lokal Kutut, (Salatiga: Pustaka Percik,2005). hal. 66.
[2] Suwondo, Civil Society di aras Lokal Kutut, hal. 74.
[3] Siti Hidajatul Hidajah, Birokrasi dan Pembentukan Civil Society Analisis Peran dan Fungsi Birokrasi di Indonesia, (Surabaya: Pukad-Hali, 2004), hal. 71.

[4] Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 196.
[5] Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila, HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Indonesian Center for Civic Education, 2012), hal.225-227.



[6] Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila, HAM, dan Masyarakat Madani, hal. 230.
[7] Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila, HAM, dan Masyarakat Madani, hal. 231-232.

[8] Suryo Sakti Hadiwijoyo, Negara, Demokrasi dan Civil Society, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hal.119.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar