IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH DALAM PEMILIHAN
CALON
TUNGGAL PEMIMPIN DAERAH
Di
susun guna memenuhi tugas
Mata
kuliyah : Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen
Pengampu : Dr. Syamsul Ma’rif, M. Ag.

Oleh:
1.
Muntafiah (1403036093)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
TAHUN
2015
I.
PENDAHULUAN
Pemilihan kepala daerah merupakan salah satu
instrumen untuk memenuhi desentralisasi politik dimana dimungkinkan terjadinya
transfer lokus kekuasaan dari pusat ke daerah. Pemilihan kepala daerah
sebagaimana pemilu nasional merupakan sarana untuk memilih dan mengganti
pemerintahan secara damai dan teratur. Melalui pemilihan kepala daerah, rakyat
secara langsung akan memilih pemimpinnya di daerah sekaligus memberikan
legitimasi kepada siapa yang berhak dan mampu untuk memerintah. Melalui
pemilihan kepala daerah perwujudan kedaulatan rakyat dapat ditegakkan.
Pemilihan kepala daerah dengan kata lain merupakan seperangkat aturan atau
metode bagi warga negara untuk menentukan masa depan pemerintahan yang absah.
Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah kepala pemerintahan daerah yang
dipilih secara demokratis.
Pemilihan secara demokratis yang dimaksud adalah
pemilihan yang dilakukan oleh rakyat secara langsung yang persyaratan dan tata
caranya di dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan pasal 56
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa kepala daerah dan wakil
kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pengaturan hukum mengenai pemilihan umum kepala daerah memperlihatkan perkembangan
dan dinamika yang positif bagi perwujudan kehidupan demokrasi di Indonesia,
dengan membuka ruang politis dan hukum bagi kesempatan calon perseorangan,
selain calon yang diusung partai politik, untuk mengikuti pemilihan kepala
daerah baik ditingkat provinsi, kabupaten, maupun kota.
Dinamika hukum dan kehidupan politik dalam kaitan
pelaksanaan pemilu kepala daerah secara langsung, memperlihatkan perkembangan
positif dimana amanat konstitusi Negara, UUD Tahun 1945 telah mengatur hak
politik warga Negara yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan telah
terakomodasi, direspon dan dilaksanakan secara konsisten tanpa perlakuan
diskriminasi. Berdasarkan latar belakang di atas, dalam makalah ini dibahas
tentang calon perseorangan dalam pemilukada ditinjau dari perspektif fikih
siyasah.
II.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Pemilihan
Kepala Daerah secara Langsung
2.
Calon
Perseorangan dalam Pemilihan Umum Kepada Daerah
III.
PEMBAHASAN
Pemilihan
Kepala Daerah secara Langsung
Berdasarkan
pada pengalaman sejarah republik ini sampai tujuh tahun paca Orde Baru,
pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota selalu
dilaksanakan dengan sistem perwakilan. Artinya, kepala daerah baik gubernur
maupun bupati/walikota hanya dipilih oleh para anggota DPRD. Pengalaman selama
itu pula, pemilihan kepala daerah melalui sistem perwakilan, tidak pernah dapat
memuaskan hati nurani dan keinginan rakyat secara ideal dan semestinya, selain
prosesnya yang tidak transparan dan akuntabel, pelaksanaannya Calon
Perseorangan seringkali dikooptasi oleh kekuasaan partai politik di tingkat
pusat.[1]
Sementara itu, proses penyelenggaraannya sulit terlepas dari praktik money
politics untuk tujuan memenangkan pemilihan di DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota. Lahirnya UU Pemerintahan Daerah No. 22 Tahun 1999 yang kemudian
diubah dengan undang-undang No. 32 Tahun 2004 telah memberikan harapan baru
bagi bangsa ini untuk perubahan sistem politik yang otoriter menuju sistem
politik yang demokratis. Berdasarkan UU Pemerintahan Daerah yang baru ini,
terlepas dari segala kekurangannya, diharapkan terjadi perubahan besar yang
mendasar menuju otonomi daerah yang sesungguhnya. Selama periode pertama bulan
Juni hingga Desember 2005, telah dilaksanakan 212 pemilihan kepala daerah
langsung di daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sedangkan
sampai dengan Maret 2006, pemilihan kepala daerah telah dilaksanakan di 230
daerah.[2]
Dalam sistem politik Indonesia masa transisi, tentunya pelaksanaan pemilihan
kepala daerah langsung bukan hanya sekedar amanat konstitusi yang mengikuti
sistem pemilihan dalam membangun sistem politik yang demokratis. Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 memang tidak secara implisit memberikan definisi yang tegas
mengenai system pemilihan kepala daerah yang digunakan. Namun paling tidak hal
itu dapat dilihat dari aturan yang dianut dalam pasal 56 sampai pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah; Pasal 107 dan 108 tentang penetapan
calon terpilih dan pelantikannya; serta peraturan pelaksanaannya yang diatur
dalam PP No. 6 Tahun 2005.
Sistem
yang dianut dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menggunakan
sistem pemilihan langsung oleh pemilik (direct vote) berdasarkan suara
mayoritas absolut dan mayoritas sederhana. Hal ini disebut juga plural majority
dengan two round system. [3]
Para pemilih melakukan pencoblosan tanda gambar pasangan kandidat yang
diinginkan sesuai keinginan nurani mereka. Pasangan calon yang memperoleh suara
25% lebih atau disebut juga mayoritas sederhana (simple majority) dapat
ditetapkan sebagai pemenang, jika tidak terdapat pasangan calon yang memperoleh
suara 50% lebih, atau disebut dengan istilah mayoritas mutlak (absolute
majority).[4]
Dalam
penentuan pemenangnya, jika kita berpatokan kepada aturan yang dirumuskan dalam
Pasal 107 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ini, maka pemilihan kepala daerah
langsung ini pada dasarnya menggunakan system alternative vote; yaitu jika
tidak dicapai perolehan suara 50% lebih oleh salah satu pasangan clon kepala
daerah dan wakil kepala daerah (gurbernur maupun bupati/walikota) dalam
pemilihan, maka pasangan calon yang mendapatkan suar lebih 25% suara sah dapat
ditetapkan sebagai pemenang dalam pemilihan kepala daerah ini. Alternatif kedua
ini menggunakan standar perolehan suara hanya lebih dari 25% dari total suara
sah yang diraih oleh pasangan calon. Penentuan angka perolehan 25% lebih suara
sah ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya dua kali pemilihan, yang
mengandung resiko mahalnya biaya pemilihan yang harus diemban oleh pemerintah
dan pemerintah daerah.
Calon
Perseorangan dalam Pemilihan Umum Kepada Daerah
Lahirnya
UU. No. 22 Tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu telah merevisi ketentuan
penyelenggaraan yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004. UU No. 22 Tahun 2007
meletakkan pemilihan kepala daerah sebagai bagian dari rezim pemilu sehingga
KPU dengan independensinya bertanggungjawab menyelenggarakan pemilihan kepala
daerah. Demikian juga dalam pembentukan Badan Pengawas Pemilu (atau panitia
Pengawas di tingkat lokal). UU No. 22 Tahun 2007 mengatur pembentukan dan
rincian tugasnya serta dijamin independensinya. Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun
2004 yang dituangkan dalam UU No. 14 Tahun 2008 juga telah melakukan revisi
substansial terhadap penyelenggaraan pemilihan kepala daerah khususnya dalam
mengakomodasi hadirnya calon perseorangan. Adanya pertimbangan ini perlu
diciptakan undang-undang tersendiri (khusus) untuk mengatur penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah sehingga terwujud pemilihan kepala daerah yang lebih
berkualitas dan demokratis. Oleh karena itu, dari prespektif penghormatan
terhadap hak asasi manusia hal ini bermakna bahwa setiap orang berhak turut
serta dan memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, khususnya
pengisian jabatan sebagai kepala daerah dan wakil kapala daerah di tingkat
propinsi, kabupaten, atau kota, melalui pencalonan dalam Pemilu kepala daerah.
Dalam kaitan dengan problematika konstitusional dan yuridis-politis sebagaimana
diuraikan di atas, kemudian pada tahun 2007 atas dasar pengajuan uji materiil
UUPD 2004 atas UUD 1945, atau disebut juga sebagai pengujian konstitusionalitas
UU atas UUD Tahun 1945 (constitutional review)[5]
yang pernah diajukan oleh Lalu Ranggalawe, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui
Putusan No. 5/PUU-V/2007 tanggal 23 Juli 2007 menyatakan bahwa Pasal 56 ayat
(2) UUPD 2004 yang hanya memperbolehkan pasangan calon partai politik atau
gabungan partai politik dalam pemilihan kepala daerah sebagai inkonstitusional,
atau bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Dengan demikian, salah satu
substansi penting dari Putusan MK tersebut adalah membuka ruang konstitusional
untuk memberi kesempatan bagi bakal calon perseorangan, selain yang berasal
dari partai politik atau gabungan partai politik, sepanjang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pasal 58 UUPD 2004 melalui mekanisme yang
demokratis dan transparan.
Amanat
Putusan MK yang dimaksud di atas kemudian diikuti dengan perubahan UUPD 2004
dengan diberlakukannya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU
Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam
konsideran Menimbang huruf b. UU No 12 Tahun 2008 di atas dinyatakan secara
tegas: “Untuk mewujudkan kepemimpinan daerah yang demokratis yang memperhatikan
prinsip persamaan dan keadilan, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah
memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga Negara yang memenuhi
persyaratan”. Lebih lanjut perubahan No. 3 secara eksplisit dinyatakan sebagai
berikut: Ketentuan Pasal 56 ayat (2) diubah, sehingga Pasal 56 berbunyi sebagai
berikut: (1) Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan
calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil. (2) Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau
perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan
sebagaimana ketentuan dalam Undang-undang ini.
Menurut
Undang-undang No.12 Tahun 2008 (selanjutnya disebut UUPD 2008), persyaratan dan
mekanisme pencalonan Kepala Daerah diatur sebagai berikut: 1. Pencalonan
melalui partai politik sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah
kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah
dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. 2. Jika diajukan
oleh gabungan partai politik, suara partai politik tersebut juga harus memenuhi
15%. Partai politik yang tidak memenuhi 15% dapat melakukan koalisi dengan
partai lain untuk mencalonkan pasangan Kepala Daerah. 3. Untuk Calon perorangan
diatur dalam 2 (dua) kategori sebagai berikut: Pasangan calon perseorangan
untuk gubernur dan wakil gubernur dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan
calon apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan: a. Provinsi dengan
dukungan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung
sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen) b. Provinsi dengan jumlah
penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta)
jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen) c. Provinsi dengan
jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua
belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan d.
Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa
harus didukung sekurangkurangnya 3% (tiga persen). Jumlah dukungan sebagaimana
dimaksud di atas tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah
kabupaten / kota di provinsi dimaksud. Sedangkan, untuk pasangan calon
perseorangan yang dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon Bupati dan
Wakil Bupati, atau Walikota dan Wakil Walikota, apabila memenuhi syarat
dukungan dengan ketentuan: a. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai
dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung
sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen). b. Kabupaten/kota dengan
jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan
500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukug sekurang-kurangnya 5% (lima
persen); dan c. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima
ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung
sekurang-kurangnya 4% (empat persen);dan d. Kabupaten/Kota dengan jumlah
penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurangkurangnya
3% (tiga persen). Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud di atas tersebar di
lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud.
Ketentuan di atas menunjukkan bahwa calon perseorangan yang menjadi calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah wajib mengumpulkan dukungan dari
konstituennya. Dukungan ini dapat dilakukan dengan surat pernyataan dukungan
yang terlampir dalam kartu identitas. Jika telah memenuhi persyaratan maka
syarat yang telah dikumpul diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah
(KPUD) untuk diverifikasi, dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap
syarat-syarat yang telah dilampirkan oleh pasangan bakal calon kepala daerah
dan wakilnya. Jika telah dinyatakan lolos verifikasi, maka KPUD menetapkan
pasangan calon sekurang-kurangnya 2 (dua) pasangan calon yang dituangkan dalam
Berita Acara Penetapan pasangan calon. Proses selanjutnya dilakukan undian
secara terbuka untuk menetapkan nomor urut pasangan calon. Dengan mencermati
persyaratan dan mekanisme pendaftaran calon pasangan kepala daerah secara
perseorangan seperti ditentukan di atas, terdapat kesulitan dan kendala serta
kerumitan prosedural yang dihadapi calon mempersiapkan diri sebagai calon
perseorangan, dalam pemilu kepala daerah, yang dapat dirinci seperti berikut:
1. Bentuk
dukungan untuk calon perseorangan harus dibuat dalam bentuk surat pernyataan
yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), atau surat keterangan
tanda penduduk sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini menjadi
bagian dari kesulitan tersendiri bagi calon perseorangan, karena kondisi
manajemen dan administrasi kependudukan di Indonesia masih belum baik dan
datanya tidak akurat, dimana masih banyaknya pemegang KTP ganda dan bahkan KTP
palsu di masyarakat. Oleh karena itu, menjadi sangat mungkin akan adanya
pendukung bayangan dari pasangan calon kepala daerah, dan hal ini akan menjadi
masalah teknis baru bagi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai pelaksana
Pemilihan Umum Kepala Daerah.
2. Pengaturan
pemilihan kepala daerah berdasarkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah jo. UU Nomor 12 Tahun 2008 seperti dimaksud di atas pada
dasarnya mengandung sejumlah kelemahan, baik dari segi sistem maupun aturan
teknisnya. Paradigma UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 meletakkan pemilihan
Kepala Daerah sebagai domain Pemerintahan Daerah, dan bukan sebagai domain
Pemilihan Umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945, sehingga instrumen
pelaksana (penyelenggara) dan pelaksanaan (peraturan pelaksanaan) pemilihan
Kepala Daerah dapat mengalami bisa pengaruh dan nuansa intervensi Pemerintah.
Hal ini dapat berimplikasi pada independensi penyelenggara dan penyelenggaraan
pemilihan Kepala Daerah. Padahal prinsip pemilihan langsung yang paling penting
adalah dilakukan oleh penyelenggara yang independen sesuai dengan semangat
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Oleh
karena itu, kemudian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan
pemilihan umum kepala daerah yang berbeda dengan ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, yaitu dengan menempatkan pemilihan Kepala Daerah sebagai
bagian dari pelaksanaan Pemilihan Umum. Dengan demikian, Komisi Pemilihan Umum
(KPU) dengan independensinya secara bertanggungjawab dapat menyelenggarakan
pemilihan Kepada Daerah secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil. Demikian juga dalam pembentukan Badan Pengawas
Pemilu, atau Panitia Pengawas di tingkat lokal, Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2007 mengatur pembentukan dan rincian tugasnya serta dijamin independensinya.
Perubahan kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 juga secara konkrit telah merevisi substansi
ketentuan yang mengatur penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah, khususnya
untuk mengakomodasi keberadaan calon perseorangan dalam pemilihan umum Kepala
Daerah. Implikasi Yuridis Mekanisme Pencalonan Kepala Daerah secara
Perseorangan Implikasi yuridis-politis yang muncul kemudian dari mekanisme
pencalonan kepala daerah secara perseorangan adalah: 1. Di satu sisi
persyaratan yang harus dipenuhi dan mekanisme yang harus dilalui calon
perseorangan untuk mengikuti pemilihan kepala daerah menjadi rumit dan cukup
berat. 2. Tetapi, disisi lain bagi calon perseorangan yang kemudian berhasil
memenangkan pemilihan kepala daerah, setelah menjadi kepala daerah dan wakil
kepala daerah definitif dapat dipastikan akan berhadapan dan harus dapat
menjalin kerjasama dengan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang
berasal dan mewakili partai-partai, dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya
sebagai kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Padahal secara
psiko-politis para anggota DPRD cenderung mendukung kepala daerah yang diusung
oleh partainya, sehingga dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya untuk
menjalankan roda pemerintahan sehari-hari sampai pada kewajiban menyampaikan
pertanggungjawaban akhir tahun sebagai kepala daerah yang berasal dari calon
perseorangan akan menemui kendala politis dalam membangun hubungan yang
harmonis dengan anggota DPRD yang mewakili partaipartai politik tertentu. Dari
perspektif yuridis-sosiologis bahwa pemilihan Kepala Daerah dari unsur calon
perseorangan merupakan inovasi hukum dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang harus
ditindaklanjuti dengan penuh tanggungjawab, sekaligus proses pembelajaran
berdemokrasi yang hakiki (geneuine democracy) dengan mengedepankan aspek
yuridis-formal dan konstitusional sebagai tolak ukur berhasil tidaknya calon
perseorangan menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai Kepala Daerah. Dari
perspektif yuridis-empiris pemilihan umum kepala daerah dari calon perseorangan
untuk pertama kalinya di Indonesia telah dilaksanakan di Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam yang diselenggarakan oleh KIP. Calon perseorangan dalam pemilihan
Kepala Daerah di Provinsi Aceh ini ternyata mendapat sambutan yang luar biasa
dari masyarakat. Bahkan Gubernur Nangroe Aceh Darussalam sekarang, Irwandi
Yusuf, merupakan kepala daerah yang berasal dari calon perseorangan. Fakta
empiris dalam kehidupan demokrasi di Indonesia dalam bentuk pemilu Kepala
Daerah seperti ini menunjukkan bahwa tak selamanya partai politik atau gabungan
partai politik mempunyai kemampuan untuk menyerap aspirasi politik masyarakat
untuk memilih calon yang diusungnya dalam Pemilihan umum Kepala daerah.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa
masalah pengaturan hukum mengenai pemilihan umum kepala daerah memperlihatkan
perkembangan dan dinamika yang positif bagi perwujudan kehidupan demokrasi di
Indonesia, dengan membuka ruang politis dan hukum bagi kesempatan calon
perseorangan, selain calon yang diusung partai politik dan gabungan partai
politik, untuk mengikuti pemilihan kepala daerah baik ditingkat provinsi,
kabupaten maupun kota. Fenomena dinamika hukum dan kehidupan politik di
Indonesia, khususnya dalam kaitan dengan pelaksanaan pemilu kepala daerah,
memperlihatkan perkembangan positif dimana amanah konstitusi negara, UUD Tahun
1945 yang mengatur hak politik warga negara yang sama dihadapan hukum dan
pemerintahan telah diakomodasi, direspon, dan dilaksanakan secara konsisten
tanpa perlakuan diskriminasi. Tinjauan Fikih Siyasah terhadap Pencalonan Kepala
Daerah Perseorangan Islam adalah agama yang dianugerahkan kepada seluruh
manusia melalui seorang Nabi terakhir yang ummi sebagai tuntunan untuk
memperoleh kebahagiaan di Dunia dan Akhirat. Sebagai sebuah anugerah dari yang
maha Esa tentunya segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah murni hanya untuk
kepentingan umat, karena Allah adalah dzat yang suci dari tujuantujuan pribadi.
Bermula dari hal tersebut dan dalil-dalil nash maka Ulama’ membuat sebuah
kaidah pokok dari tujuan syari’at yaitu mendatangkan berbagai kemaslahatan
serta menolak berbagai kerusakan “maslahah mursalah”. Para mujtahid menggunakan
konsep ini dalam menghasilkan produk-produk hukum karena mereka semua sepakat
bahwa syari’at Islam telah membuktikan bahwa ia adalah agama yang mampu
menjawab berbagai tantangan dari perkembangan zaman dan peradaban yang yang
selalu berubah-ubah di tiap situasi dan kondisi, sebagaimana kaidah “la yunkiru
taghyir al-ahkam bi taghyir al-zaman”.[6]
Menurut istilah umum Maslahah adalah mendatangkan segala bentuk kemanfaatan
atau menolak segala kemungkinan yang merusak. Lebih jelasnya Manfaat adalah
ungkapan dari sebuah kenikmatan atau segala hal yang masih berhubungan
denganya, sedangkan kerusakan adalah hal-hal yang menyakitkan atau segala
sesuatu yang ada kaitan denganya. Pandangan terhadap maslahah terbagi menjadi
dua bagian, yaitu pandangan maslahah menurut kaum sosialis materialis serta
pandanganya menurut syara’ (hakikat syara’), dalam pembahasan pertama al
Syatiby mengatakan: “maslahah ditinjau dari segi artinya adalah segala sesuatu
yang menguatkan keberlangsungan dan menyempurnakan kehidupan manusia, serta
memenuhi segala keinginan rasio dan syahwatnya secara mutlak”. Sedangkan
menurut arti secara Syara’ adalah segala sesuatu yang menguatkan kehidupan di
dunia tidak dengan cara merusaknya serta mampu menuai hasil dan beruntung di
akhirat, dalam hal ini al-Syatiby mengatakan, “menarik kemaslahatan dan
membuang hal-hal yang merusak bisa juga disebut dengan melaksanakan kehidupan
di dunia untuk kehidupan di akhirat” sedangkan menurut al-Ghazali maslahah
adalah: “memelihara tujuan daripada syari’at”. Sedangkan tujuan syara’ meliputi
lima dasar pokok, yaitu: 1. melindungi agama (hifd al-din), 2. melindungi jiwa
(hifd al- nafs), 3. melindungi akal (hifd al-aql), 4. melindungi kelestarian
manusia (hifd al-nasl), 5. melindungi harta benda (hifd al-mal).[7]
Dalam perspektif fikih siyasah, konsep mekanisme calon perseorangan sesuai
dengan konsep maslahah ammah, hurriyyah alra’y, dan hurriyyah al-syakhsiyyah:
1. Maslahah Ammah Maslahah ‘ammah adalah kemaslahatan umum yang menyangkut
kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak berarti untuk kepentingan
semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat. Misalnya ulama
memperbolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak akidah umat, karena
menyangkut kepentingan orang banyak. Berdasarkan uraian di atas, kemaslahatan
umat merupakan sesuatu yang sentral dalam kajian fiqh siyasah khususnya siyasah
dusturiyyah, sehingga kebijakan apapun maupun perundang-undangan yang hendak
diberlakukan oleh penguasa harus selalu mempertimbangkan dan memperhatikan akibat
yang akan ditimbulkan. Dengan kata lain, apakah menimbulkan kemaslatan bagi
umat atau malah sebaliknya. Dalam hal ini calon perseorangan yang mencalonkan
diri sebagai kepala daerah tentunya tidak dapat ditolak keberadaannya secara
syariat ini dikarenakan tidak semua keinginan serta kepentingan warga dan
masyarakat terakomodasi oleh adanya partai politik sehingga sangat diperlukan
orang yang tidak terafiliasi dengan partai dalam arti pencalonan perseorangan
untuk menjaga kemashlahatan umat ini.
Keputusan baru yang telah dikeluarkan
oleh MK dalam hal ini sangat relevan dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai
keislaman. MK telah memenuhi persyaratan kemashlahatan ummat yang harus terjaga
dibanding kepetingan pribadi partai-partai politik tersebut. Berkaitan dengan
hal tersebut, bahwa apabila UU atau ketentuan yang sebelumnya ternyata tidak
sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat, maka harus dirubah. Meskipun
secara politis kepala daerah dari calon perseorangan mendapatkan dukungan
politis secara minoritas di lembaga DPRD, namun jika kepala daerah tersebut
dapat menunjukkan prestasi kerja dan pengabdian kepada masyarakat di daerahnya
dengan penuh tanggungjawab dan dapat mensejahterakan rakyatnya, serta tidak
melanggar hukum dalam kinerjanya sebagai kepala daerah, maka kepala daerah
tersebut walaupun berasal dari calon perseorangan semestinya juga akan
memperoleh dukungan politik dari para anggota DPRD dan dukungan moral dari
rakyat yang dipimpinnya, karena kemampuan tersebut berarti berusaha melindungi kemashlahatan
masyarakat yang lebih luas, yang lebih uatama daripada segelintir orang saja,
al-maslahah al-‘ammah muqaddamatun ‘ala maslahat al-Khamsah.[8] 2.
Hurriyah al-Ra’y (Kebebasan berpendapat) Dalam kerangka fiqh Islam, kebebasan
mengemukakan pendapat biasa disebut dengan istilah hurriyyah al-ra'y, yang
secara etimologis berarti kebebasan berpendapat yang juga berarti kebebasan
berbicara. Penggunaan istilah hurriyah alra'y dan bukan hurriyah al-qawl
menunjukkan bahwa para ulama dan sarjana muslim telah menempatkan kedudukan
yang amat penting dalam tradisi pemikiran dan keilmuan Islam. Istilah ra’y
dalam tradisi pemikiran dan keilmuan Islam biasanya dibagi ke dalam tiga jenis,
yaitu yang terpuji, tercela, dan diragukan. Jenis ra’y atau pendapat yang terpuji
adalah ra’y yang dijelaskan dalam al-Quran, Sunnah, pendapat para sahabat, ra’y
yang merupakan hasil ijtihad, dan ra’y yang dicapai melalui proses musyawarah.
Ra’y yang tercela (al-ra'y al-mazmumah) dikenal dalam tiga jenis ra’y, yaitu
bid’ah (pembaharuan yang merusak dan menyesatkan), hawa (niat jelek) dan baghy
(pelanggaran hukum). Dalam usul al-fiqh, ra’y biasanya didefinisikan sebagal
pendapat tentang suatu masalah yang tidak diatur dalam ai-Quran dan Sunnah. Ia
merupakan pendapat yang dipertimbangkan dengan matang, yang dicapai sebagai
hasil pemikiran yang mendalam dan dilakukan dengan usaha yang keras dari
seseorang. Dengan demikian hurriyyah al-ra’y mensyaratkan adanya pendapat dan
pemikiran yang matang, mendalam dan sungguhsungguh. Setiap orang boleh
mengemukakan pendapat sejauh tidak melanggar hukum yang mengandung penghujatan
dan fitnah, serta didasarkan pada argumen yang logis, faktual dan bertanggung
jawab.
Dalam kacamata pemikiran dan keilmuan
Islam, ra’y dibatasi secara nyata oleh wahyu Tuhan (al-Quran dan Sunnah).
Tetapi jika tersedia aturan dan pedoman dalam wahyu, atau jika kedua sumber
tersebut (alQuran dan Sunnah) hanya memuat aturan atau pedoman yang masih
memungkinkan untuk ditafsirkan, maka hal tersebut masih terbuka untuk ra’y. dan
hak untuk mendapatkan persamaan (al-musyawah) di muka hukum dan pemerintahaan.
Jika kita korelasikan dengan Undang-undang yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Konstitusi (MK) serta sesuai dengan amanat UUD NRI pasal 28E ayat 3 bahwa
“setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat...” Ini sejalan dengan corak demokrasi Indonesia sehingga dalam
keadaan pemilihan kepala daerah siapapun berhak menyatakan dirinya untuk maju
sebagai calon kepala daerah dengan atau tanpa partai politik. Ketentuan ini
mengakomodasi setiap hak-hak asasi warga negara yang ingin memajukan bangsa dan
negaranya serta tidak berafiliasi dengan partai politik manapun tetapi tetap
bercita-cita memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara. Fakta ini seiring dengan
pernyataan bahwa partai politik itu cenderung mementingkan kepentingan
partainya dan bukan rakyat. Seperti dijelaskan oleh Maurice Duverger9 pada
bagian pertama abad ke sembilan belas para aktivis yang aktivitasnya mengacu
pada partai mereka lebih sering mengutamakan berpikir tentang ideologi daripada
mengenai manusianya. Sehingga kebenaran yang dipegang pun lebih cenderung pada
kebenaran dari ideologi partai yang menjadi panutannya dari pada kebenaran yang
universal.10 3. Hurriyah Al-Syakhsiyyah (Kebebasan Berprilaku) Dalam UUD NRI
pasal 28E ayat 2 ditegaskan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya dan
juga pasal 28I ayat (1) hak untuk hidup, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, …hak untuk di akui sebagai pribadi di hadapan hukum…” Dan ayat (2)
bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
diskriminatif itu. Di dalam Islam, secara khusus Hukum Tata Negara Islam
ketentuan ini dikenal dengan Hurriyah Al-Syakhsiyyah dalam arti kebebasan
berprilaku secara khusus dan Hak-Hak Asasi Manusia secara umum yang telah
diatur dalam Islam juga. Siapapun diberikan hak sebesar-besarnya untuk
berprilaku secara bebas namun dalam menjalankan hak dan kebebasannya itu setiap
orang wajib tunduk atas batasan-batasan yang telah diberikan oleh agama maupun
negara yang terejawantah di dalam undangundang dan nilai-nilai keislaman dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral nilai-nilai agama dan kebangsaan dan ketertiban atau
kemaslahatan umat. Kepala daerah yang bertindak sebagai pengontrol, pemimpin,
dan pengawas bagi berjalannya kebebasan itu sudah seharusnyalah juga dipilih
berdasarkan asas kebebasan tersebut. Tidak ada yang boleh melarang siapapun
untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah baik itu melalui partai ataupun
dengan jalan perseorangan karena itu akan melanggar kebebasan dan hak warga
negara untuk membela negaranya. Kebutuhan untuk menjalankan pemilihan kepala
daerah langsung dengan sistem yang ditentukan dalam UU No. 32 Tahun 2004 pada
dasarnya merupakan amanat dari konstitusi hasil amandemen kedua, kendati tidak
secara tegas dinyatakan kata-kata pemilihan secara langsung. Pasal 18 ayat (4)
Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan kedua menyatakan bahwa “gubernur,
bupati, walikota, merupakan masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah
provinsi kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.” Perkataan dipillih
secara demokratis dapat ditafsirkan secara luas. Yang dapat saja ditafsirkan
dipilih secara langsung melalui sistem perwakilan DPRD pada semua tingkatannya.
Melihat hal ini Islam sangat mengedepankan kemaslahatan luas bagi rakyat untuk
memilih siapa calon pemimpinnya baik itu dari partai maupun tidak. Logikanya,
apabila partai politik sudah tidak bisa lagi menjaga kemaslahatan tersebut dan
tidak mampu mempertanggung jawabkannya terhadap rakyat secara sosial maka
alternatif lain berupa pilihan calon perseorangan non-partai menjadi pilihan
yang telah sesuai dengan asas perlakuan tanpa diskriminasi kebebasan
berpendapat dan hak asasi manusia bagi calon pemimpin yang tidak berafiliasi
dengan partai.
IV.
PENUTUP
Implikasi
Yuridis setelah diakomodasinya calon perseorangan dalam pemilu kepala daerah
pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007 adalah perubahan peraturan
perundangundangan yang relevan dalam pemilu kepala daerah secara langsung,
yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah; UU. No. 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik, UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum, PP. No.6 tahun 2005 tentang Pemilihan, pengesahan pengangkatan,
dan pemberhentian kepala dan wakil kepala daerah, yang kemudian dirubah menjadi
PP No. 17 Tahun 2005 (Perubahan I), serta PP No. 25 Tahun 2007 (Perubahan II).
Sebelum Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007 keluar, sebenarnya calon
perseorangan bisa memasuki dua lembaga politik; Pertama, dalam pemilu 2004
calon perseorangan berlomba-lomba masuk ke lembaga Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia (DPD RI); Kedua, dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, calon perseorangan bisa bersaing bersama calon yang
diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik nasional dalam
pemilihan kepala daerah se-Aceh. Dua jalur pencalonan ini menunjukkan bahwa
sistem politik Indonesia sebelum keputusan MK sudah mengenal jalur perseorangan
dalam pencalonan jabatan-jabatan politik. Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 5/PUU-V/2007, berarti pemilihan kepala daerah yang digelar di berbagai
daerah dapat mengikutsertakan pasangan calon perseorangan, meskipun
ketentuan-ketentuan teknis pasangan calon perseorangan ini harus diatur, dalam
revisi UU No. 32/2004, Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-Undang (Perpu),
dengan alasannya: (1) Menjaga momentum agar calon perseorangan diakomodasikan
dalam proses pemilihan kepala daerah yang belum melaksanakan pemilihan kepala
daerah; (2) Menghindari kepentingan partai politik untuk menghambat kehadiran
calon perseorangan, terutama yang digerakkan oleh sentiment negatif betapa
calon perseorangan akan mematikan partai-partai politik; (3) Memastikan agar
hak-hak perseorangan yang dijamin oleh UUD 1945 itu segera terimplementasikan;
dan (4) Memberikan arah yang jelas sebelum pemilihan kepala daerah yang sebenarnya
terselenggara. Sejalan dengan semangat dilaksanakannya pemilian kepala daerah
secara langsung yang diikuti calon perseorangan, pengaturan Pemilihan kepala
daerah dalam Revisi Terbatas atau Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 adalah merespon Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 tentang
calon perseorangan, namun dalam perkembangannya perubahan juga memuat revisi
dan pengaturan baru terhadap sejumlah ketentuan yang dipandang penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemilihan umum kepala daerah. UU ini
memuat aturan tentang keterlibatan calon perseorangan dalam pemilihan kepala
daerah. mengenai hal ini, UU menentukan persyaratan dukungan 3%, 4%, 5% dan
6,5% berdasarkan kluster junlah penduduk. Dukungan tersebut tersebar di lebih
dari 50% jumlah kabupaten/kota (untuk pemilihan kepala daerah provinsi) atau
lebih dari 50% jumlah kecamatan (untuk pemilihan kepala daerah kabupaten/kota).
Adapun Pasal 59 tentang calon kepala daerah dan syarat dukungan sesuai Undang
No. 12 Tahun 2008. Secara Fikih siyasah, mekanisme calon perseorangan dalam
PEMILUKADA sesuai dengan konsep maslahah al-ammah. Maslahah al-‘ammah adalah
kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum
ini tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk
kepentingan mayoritas umat. Dalam hal ini siapapun calon perseorangan yang maju
sebagai kepala daerah tidak bisa didiskriminasi dan berhak mendapatkan hak
untuk mencalonkan diri sehingga sejalan dengan keputusan MK tersebut. Sedangkan
hurriyyah al-ra'y, yang secara etimologis berarti kebebasan berpendapat yang
juga berarti kebebasan berbicara. Bahwa siapapun berhak mengeluarkan
pendapatnya untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat banyak dengan atau tanpa
partai politik, sehingga mengurangi batasan terbatasnya hak-hak asasi manusia
yang terbatas hanya dalam partai politik. Yang pada akhirnya akan melahirkan
hurriyah al-Syakhsiyyah dalam arti kebebasan berprilaku secara khusus dan
Hak-Hak Asasi manusia secara umum yang telah diatur dalam Islam juga. Dalam hal
kepala daerah ini sangat berpengaruh untuk mengedepankan hak-hak manusia dan
rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
I
Ketut Putra Erawan, “Logika Perubahan dan
Keterlanjutkan Sistem Pemilihan Umum bagi Indonesia 2009,” makalah disampaikan
pada seminar Mencari Format Baru Pemilu dalam Rangka Penyempurnaan UU Bidang
Politik, kerjasama Departemen Dalam Negeri dan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Jakarta, 10 Mei 2006.
Electoral
Commission, Everything You Need to Know
about Voting Under MMP, (Wellington: GP Publication, 1996), 64 dan 84; juga
Electoral Commission, The New Zealand Electoral Compendium, (Wellington: 1997),
157 dan 17.
Retno Saraswati,”Calon Perseorangan dalam Pemilihan Kepala daerah, suatu Tinjauan
Filosofis”, dalam Jurnal Konstitusi Vol. II, No. 1, Juni 2009 PPK Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 84.
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah; Kontekstualisasi
Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Media Pratama, 2007), 16.
M.Ibn
Ahmad Taqiyah.1999.”Masadiru Al-Tasyri‟ Al-Islamy”, (Lebanon: Muasisu Al Kitab
Al Tsaqafiyah, 1999), 138.
Muhakki,
“Mekanisme Suara Terbanyak Bagi Pemilu Legislatif (Studi Siyasah Dusturiyah)”,
Jurnal al-Daulah, No. 2, Vol. 1 (Oktober,2011), 167.
[1] UU No. 5 Tahun 1974
mengatur pemilihan kepala daerah yang tidak memberikan peluang bagi kebebasan
kandidat dan mekanisme penyelenggaraan pemilihan. Adanya fenomena sebelum UU.
No. 22/1999 ada, hampir sebagian besar gubernur termasuk juga bupati/walikota yang
dipilih anggota legislative harus mendapat “restu” dari Jakarta, di sebagian
provinsi di Indonesia, gubernur yang dipilih tidak pernah berasal dari daerah
yang bersangkutan, tapi didrop dari pusat atas “restu dan otoritas cendana”.
Fenomena seperti ini terjadi diwilayah yang dinilai kurang maju, terutama dari
sisi SDMnya. Misalnya, gubernur Bengkulu, Jambi dan Riau pada masa Orde Baru,
jarang sekali yang berasal dari putra daerah sendiri. Untuk wilayah Sumatra,
gubernur KDH yang berasal dari putra daerah hanya dari provinsi Sumatra Utara,
Aceh, Sumatra Selatan, begitu pula di Kalimantan dan Irian Jaya.
[2] Sumber Depatemen
Dalam Negeri, Laporan Pelaksanaan Pemilihan, Pengesahan dan Pelantikan KDH dan
WKDH, (Jakarta: 29 Maret 2006)
[3] Lihat I Ketut Putra
Erawan, “Logika Perubahan dan Keterlanjutkan Sistem Pemilihan Umum bagi
Indonesia 2009,” makalah disampaikan pada seminar Mencari Format Baru Pemilu
dalam Rangka Penyempurnaan UU Bidang Politik, kerjasama Departemen Dalam Negeri
dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 10 Mei 2006.
[4] Dalam mekanisme
pengambilan keputusan di lembaga-lembaga UE sebagai perbandingan dengan istilah
yang digunakan dalam khasanah perpolitikan di Indonesia, terdapat tiga tingkat
standart dasar dalam pengambilan keputusan. Pertama, simple majority, yaitu
pengambilan keputusan berdasarkan suara 25% lebih, dalam hal ini diterjemahkan
sebagai mayoritas sederhana. Kedua, qualified majority, yaitu pengambilan
keputusan berdasarkan suara mayoritas 50% lebih suara, dalam hal ini kita terjemahkan
sebagai mayoritas bersyarat. Dan Ketiga, absolute majority, yaitu pengambilan
keputusan berdasarkan suara terbanyak mutlak 75% lebih suara, dalam hal ini
dapat diterjemahkan menjadi mayoritas mutlak. Berbeda dengan model UE di atas,
Selandia Baru memberikan batasan absolute majority hanya dalm hitungan “more
han half (i.e. 50%=1);” sementara ukuran simpel majority disebut sebagai :
:more votes or seats than any other person or party, but less than an absolute
majority.”Dengan demikian, Indonesia menggunakan standart yang sama dengan
Selandia Baru tersebut. Lebih lanjut lihat, Electoral Commission, Everything
You Need to Know about Voting Under MMP, (Wellington: GP Publication, 1996), 64
dan 84; juga Electoral Commission, The New Zealand Electoral Compendium,
(Wellington: 1997), 157 dan 17.
[5] Retno
Saraswati,”Calon Perseorangan dalam Pemilihan Kepala daerah, suatu Tinjauan
Filosofis”, dalam Jurnal Konstitusi Vol. II, No. 1, Juni 2009 PPK Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 84.
[6] Muhammad Iqbal, Fiqh
Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Media Pratama,
2007), 16.
[7] M.Ibn Ahmad
Taqiyah.1999.”Masadiru Al-Tasyri‟ Al-Islamy”, (Lebanon: Muasisu Al Kitab Al
Tsaqafiyah, 1999), 138.
[8] Muhakki, “Mekanisme
Suara Terbanyak Bagi Pemilu Legislatif (Studi Siyasah Dusturiyah)”, Jurnal
al-Daulah, No. 2, Vol. 1 (Oktober,2011), 167.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar