Rabu, 20 April 2016

kurikulum dan sistem pembelajaran di ponpes



I.                   PENDAHULUAN
Pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan nonformal yang berkembang di Indonesia.Di dalam suatu lembaga pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai/ cita-cita yang tertuang dalam kurikulum pendidikan. Kurikulum dan pendidikan adalah dua hal yang tidak dapt dipisahkan, dilihat dari substansinya, kurikulum harus berkesinambungan antara satu jenjang dengan jenjang yang lain.
Namun, dalam dunia pondok pesantren yang kita tahu tidak ada  kurikulumnya. Padahal, kenyataannya pesantren itu memiliki kurikulum tapi bukan kurikulum secara resmi dari pemerintah, karena hal itu merupakan otonomi masing-masing pengasuh pondok pesantren.Sehingga kurikulum pesantren lebih bersifat pembelajaran yang tradisional, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ada pesantrenn yang memadukan kurikulum tradisional dan modern.Selain itu, dalam pondok pesantren juga sistem pembelajaran yang bermacam-macam, dari mulai sistem pembelajaran umum maupun agama.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang kurikulum dan sistem pembelajaran pesantren secara lebih dalam.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian Kurikulum dan Sistem pembelajaran di Pesantren?
B.     Bagaimana Kurikulum di Pesantren?
C.     Bagaimana Sistem Pembelajaran di Pesantren?
D.    Bagaimana inovasi pembelajaran di Pesantren?








III.             PEMABAHASAN

A.    Pengertian Kurikulum dan Sistem pembelajaran di Pesantren
Di dalam pembahasan kurikulum pesantren mungkin agak berbeda dengan kurikulum yang ada di sekolah, karena pemaknaan dan pemahaman kurikulum pesantren dalam pandangan para ahli pendidikan telah mengalami pergeseran secara horizontal.Jika asalnya sebagaimana ditegaskan S. Nasution bahwa kurikulum adalah sebagai sejumlah mata pelajaran di sekolah yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tingkat, maka sekarang pengertian kurikulum diperluas. Perluasan kurikulum tersebut telah diprakarsai beberapa pakar sekitar tahun 1950-an hingga 1970-an.
Menurut J. Galen Saylor dan William M. Alexander kurikulum merupakan segala sesuatu usaha yang ditempuh sekolah untuk mempengaruhi (merangsang) belajar, baik berlangsung di dalam kelas, di halaman sekolah, maupun di luar sekolah.
Untuk kurikulum pesantren dalam hal ini mngacu pada pengertian yang luas sesuai yang diungkapkan Saylor dan Alexander, sehingga bisa meliputi kegiatan-kegiatan intra-kurikuler maupun ekstra-kurikuler, dan bisa melibatkan di samping aktivitas yang diperankan santri juga diperankan kyai.Demikian juga kegiatan-kegiatan yang memilih bobot wajib diikuti maupun sekedar anjuran termasuk liputan kurikulum ini.[1]
Sedangkan pengertian sistem pembelajaran adalah satu kesatuan dari beberapa komponen pembelajaran yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ada di pesantren. Komponen pembelajaran itu meliputi peserta didik atau santri, pendidikatau kyai, kurikulum, bahan ajar, media, sumber belajar, proses pembelajaran, lingkungan dan tujuan.[2]

B.     Kurikulum di Pesantren
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kurikulum dalam pesantren juga selalu mengalami perkembangan. Hal tersebut bisa dilihat dari perubahan pembelajaran yang di ajarkan di pesantren, antara lain:
1.      Materi dasar-dasar keislaman dan ilmu islam
Dasar-dasar keislaman selalu diterapkan di pesantren, hal tersebut bisa dilihat dari kurikulum pembelajaran di pesantren yang dulu lebih menekankan pada 3 komponen ajaran islam yang berupa iman, islam dan ihsan. Sebab disesuaikan dengan tingkat intelektual dengan masyarakat (santri) dan kualitas keberagamannya pada waktu itu, sehingga isi pengajian di pesantren berkisar soal rukun iman, rukun islam, akhlak dan ilmu hikmah.
Pengajaran dasar-dasar keislaman ini ditempuh karena disesuaikan dengan tingkat kemampuan santri yang banyak dari masyarakat yang baru saja memeluk islam (muslim). Mereka perlu diberikan materi pelajaran agama yang paling dasar sesuai dengan keperluan awal bagi seorang yang mulai mempelajari dan memahami islam.
Selain itu, dari ilmu yang diajarkan juga mengalami perubahan, yang mula-mula ilmu yang diajarkan di pesantren adalah ilmu sharaf dan nahwu, kemudian ilmu fiqh, tafsir, ilmu tauhid, akhirnya sampai kepada ilmu tasawuf.
Dalam perkembangan selanjutnya, santri perlu diberikan bukan hanya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ritual keseharian yang bersifat praktis, melainkan ilmu-ilmu yang berbau penalaran yang menggunakan referensi wahyu, seperti ilmu kalam, bahkan ilmu-ilmu yang menggunakan cara pendekatan yang tepat kepada Allah.
Dalam perkembangannya ilmu-ilmu dasar keislaman seperti tauhid, fiqh, dan tasawuf selalu menjadi mata pelajaran favorit bagi para santri. Tauhid memberikan pemahaman dan keyakinan terhadap keesaan Allah, fiqh memberikan cara-cara beribadah sebagai konsekuensi logis dari keimanan yang telah dimiliki seseorang, sedangkan tasawuf  membimbing seseorang pada penyempurnaan ibadah agar menjadi orang yang benar-benar dekat dengan Allah.
Sehubungan dengan itu, cukup dapat dipahami jika kondisi pendidikan pesantren diorientasikan pada ibadah kepada Allah dan serangkaian amalan yang mendukungnya.[3]
2.      Penambahan dan perincian materi dasar
Pada abad ke-19, sulit ditemukan rincian materi pelajaran di pesantren, namun ada sedikit petunjuk secara implisit dari hasil penelitian L.W.C. Van den Berg sebagaimana yang dikutip Steenbrink bahwa materi tersebut meliputi fiqh, tata bahasa arab, ushul al-Din, tasawuf, dan tafsir.
Kemudian kurikulum pesantren berkembang menjadi bertambah luas lagi dengan penambahan ilmu-ilmu yang masih merupakan elemen dari materi pelajaran yang diajarkan pada masa awal pertumbuhannya.Pengembangan kurikulum tersebut lebih bersifat rincian materi pelajaran yang sudah ada daripada penamabahan disiplin ilmu yang baru. Penambahan materi pelajaran tersebut antara lain: Al-Qur’an dengan tajwid dan tafsirnya, aqaid dan ilmu kalam, fiqh dengan ushul fiqh dan qawaid al-fiqh, hadits dengan mushthalah hadits, bahasa arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, badi’ dan ‘arudh, tarikh, mantiq, tasawuf, akhlak, dan falak.
Tidak semua pesantren mengajarkan ilmu tersebut secara ketat.Kombinasi ilmu tersebut hanyalah lazimnya diterapkan di pesantren.Beberapa pesantren lainnya menerapkan kombinasi ilmu yang berbeda-beda karena belum ada standarisasi kurikulum pesantren yang baik yang berskala lokal, regional maupun nasional.Upaya standarisasi kurikulum selalu berhadapan dengan otonomi pesantren sebagai pantulandari otoritas kyai dengan spesifikasi ilmu yang didalaminya.Maka standarisasi kurikulum barangkali tidak pernah berhasil diterapkan di seluruh pesantren. Sehingga, pesantren tetap pada kekhususan masing-masing, karena dengan adanya variasi kurikulum pada pesanten akan menunjukkan ciri khas dan keunggulan masing-masing. Sedangkan penyamaan kurikulumterkadang justru membelenggu kemampuan santri seperti pengalaman madrasah yang mengikuti kurikulum pemerintah.Lulusan madrasah ternyata hanya memiliki kemampuan setengah-setengah.[4]
3.      Penggunaan kitab-kitab referensi
Perkembangan kitab-kitab yang dijadikan referensi pesantren dimulai masa walisongo.Pada masa walisongo yang digunakan referensi memakai Al-Qur’an, hadits, dan kitab sittina’.Kemudian pada abad ke-18, pesantren di mataram memakai kitab matan taqrib, bayan al-hidayat karangan Imam Ghazali dalam ilmu akhlak.
Mulai abad ke-19, kitab-kitab referensi di kalanganpesantren mengalami perubahan yang sangat drastis. Perubahan ini bukan saja penambahan kitab-kitab dalam satu disiplin ilmu, melainkan juga penambahan kitab-kitab yang memuat disiplin ilmu yang berlainan, antara lain sebagai berikut:
a.       Bidang fiqh meliputi Safinat al-Najah, Sullam al-Taufiq, Masail al-Sittah, Minhaj al-Qawim, al-Risalah, Tuhfat al-Habib, al-Muharrar, Minhaj Thalibin, Fath al-Mu’in dan lain-lain.
b.      Bidang tata bahasa arab meliputi Muqaddimah al-Ajurumiyah, Mutammimah, al-Fawaqihal-Janniyyah, al-Awamil al-Mi’at, Inna Awla, Alfiyah, Minhaj al-masalik, Tamrin al-Thullab, al-Rafiyyah, Mujib al-Nida’, al-Mishbah dan lain-lain
c.       Bidang Ushul al-Din meliputi Bahjat al-Ulum, Aqidah al-Sanusi, al-Mufid, Jawharat al-tauhid dan lain-lain
d.      Bidang tasawuf meliputi Ihya’ al-Ulum al-Din, Bidayat al-Hidayat, Minhaj al-Abidin, al-Hikam, Su’ab al-Iman, dan Hidayat al-Azkiya’ ila Thariq al-Awliya’
e.       Bidang tafsir hanya Tafsir Jalalain
Pada abad ke-20 ditambah lagi dengan kitab-kitab di bidang hadits,tarikh, ushul fiqh, mantiqdan falak karena tuntutan masyarakat lebih kompleks. Beberapa peneliti menyebutkan kitab-kitab referensi pada abad ini bervariasi antara lain: dalam bidang nahwu, Sharaf, fiqh, tauhid, mantiq, balaghah, akhlak, hadits, tafsir, dan tarikh. Kemudian pada abad ke-21 kitab yang paling popular di kalangan pesantren adalah Alfiyah dan taqrib[5]
4.      Materi pelajaran umum dan ketrampilan
Selain mempertahankan kitab-kitab islam klasik sebagai upaya pelestarian khazanah yang lama, pada awal abad ke-20 beberapa pesantren juga mulai bersikap progresif dengan memasukkan pelajaran-pelajaran umum.[6] Tebuireng misalnya, terdapat program-program yang sengaja dirancang secara terintegrasi antara program pondok yang dipahami sebagai masjid dan tempat ilmu, dengan membuka program yang disebut “majlis ilmi” dengan “pesantren” yang dipahamisebagai pelajaran diniyyah yang berbasis pada kitab kuning, dan biasanya diintegrasikan oleh setiap unit pendidikan pesantren Tebuireng, yaitu SMA, MA, SMP dan MTs. Seluruh siswa sekolah ini, setelah mengikuti pelajaran formal dan kembali ke pondok diwajibkan mengikuti program pondok.
Para santri dengan program pondok ini, dapat mendalami Al-Qur’an dan kitab kuning. Untuk pengajian Al-Qu’an dibagi dalam 3 kelompok, yaitu:Kelompok pengajian ba’da subuh, kelompok Tilawah Al-qur’an dan kelompok Fasahah.
Sementara untuk pengajian kitab kuning terbagi dalam 3 kelompok antara lain:
a.       Pengajian Takhassus. Terdiri dari takhassus Bandongan dan Sorogan
b.      Diskusi. Untuk kegiatan diskusi biasanya menggunakan kitab standar Fathu al-Qarib, dilaksanakan setiap malam selasa ba’da isya’ sampai pukul 23.00 WIB. Kegiatan ini diikuti oleh santri setingkat SLTA, MA, SMA, dan Madrasah Mu’allimin, dengan pembimbing dari Ma’had Aly dan guru-guru senior
c.       Adapun kurikulum dan metode pembelajarannya masing-masing tingkatan berbeda.[7]
Disamping pembelajaran agama yang dipaparkan di atas, pesantren Tebuireng mengalami perubahan kurikulum yang ditandai dengan masuknya materi pelajarn umum, antara lain: bahasa Indonesia, matematika, IPA, IPS, bahasa inggris dan lain-lain.
Contoh pondok pesantren lain yang menerapkan mata pelajaran umum yang beragam adalah pesantren modern di Pabelan yang mempelajari matematika, fisika, dan kimia, bahasa asing (arab dan inggris), teknik pertanian, perkebunan, perunggasan, perikanan kolam dan lain-lain. Demikian  juga yang terjadi di Darul Falah. Pesantren pertanian ini sejak awal telah memberikan pelajaran pertanian, teknik, sosial, ekonomi, matematika, pengetahuan alam, dan bahasa. Selain itu, Darul Falah juga memberikan pelajaran lain yang terintegrasi dalam kelompok pengetahuan dan pengalaman ajaran islam, praktikum dan latihan ketrampilan bertani, beternak atau pertukangan.
Demikian usaha pesantren memberikan bekal para santri baik dari ilmu agama, umum maupun ketrampilan. Karena hal itu adalah sebagai prospek pesantren dalam mengembangkan dinamika keilmuan dalam islam dituntut mampu mengaktualisasikan diri di tengah-tengah masyarakat. Pengembangan dinamika keilmuannya harus mampu menjadi sarana pemandu transformasi sosial dan kontekstualisasi ajaran islam dalam tatanan kehidupan masyarakat. Untuk itu ada 3 hal yang menjadi tuntutan pesantren, yaitu sebagai berikut:
a.       Harus dinamik, artinya tanggap terhadap perubahan sosiokultural dan tuntutan-tuntutan lain
b.      Harus bermutu, terutama dalam pelayanan program-program yang ditawarkan
c.       Harus relevan, yaitu cocok dengan kebutuhan masyarakat dan nilai-nilai idealisme yang diembannya[8]
C.     Sistem pembelajaran di Pesantren
Di dalam pembelajaran pesantren, antara 1 pesantren dengan pesantren yang lain itu berbeda, sehingga kami mengambil contoh sistem pesantren PPMI Assalam. Pendidikan pesantren PPMI Assalam merupakan usaha sistematis untuk mengembangkan potensi spiritual dan ta’abudiyah santri dalam rangka mewujudkan profil santri yang memiliki akhlakul karimah.Pendidikan pesantren diselenggarakan dalam 3 hal, yaitu kurikuler, kegiatan kokurikuler, dan ekstrakurikuler.[9]
Kegiatan kurikuler ditekankan pada aspek kognitif, karena diselenggarakan melalui model kurikulum persekolahan, ko-kurikuler pada aspek afektif yang diselenggarakan melalui model pengalaman hidup, dan ekstrakurikuler menekankan pada psikomotorik yang diselenggarakan melalui model pendidikan ketrampilan. Kegiatan kurikuler pesantren PPMI Assalam didefinisikansebagai suatu kegiatan pendidikan yang memuat 9 mata pelajaran yang diamsukkan ke dalam struktur kurikulum sekoalah, antara lain:
1.      Bahasa Arab
2.      Bahasa Inggris
3.      Aqidah
4.      Akhlak
5.      Tauhid
6.      Fiqh
7.      Sejarah Islam
8.      Tariqat Al-Qur’an
9.      Qiraat Al-Qur’an
Untuk kegiatan kurikuler pembelajaran pagi hari, antara jam 07.00-12.00 WIB. Kegiatan tersebut diikuti seluruh santri PPMI Assalam. Karena hal itu merupakan salah satu cara mendisiplinkan santri dalam pendidikan dan pengajaran yang telah diterapkan.[10]
Adapun kegiatan ko-kurikuler di pesantren itu dilakukan untuk mendukung kegiatan kurikuler. Kegiatan ini diberikan dalam bentuk mata pelajaran, sebagai berikut:
1.      Al Muhadarah sebagai bentuk ketrampilan berpidatoh, baik dalam bentuk bahasa Indonesia, arab, maupun inggris.
2.      Mukhadasah         
3.      Dirasah At-Tafsir
4.      Qiraah Al-Kitab
Selain mata pelajaran yang ada di atas, ada kegiatan lain yang dilakukan oleh santri PPMI Assalam, yaitu Halaqoh yang dilakukan setiap malam jum’at setelah sholat magrib.[11]
D.    Inovasi Sistem Pembelajaran Pesantren
Berdasarkan hasil penelitian pelaksanaan inovasi pendidikan di salah satu pesantren yaitu Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Ngunut Tulung Agung adalah dengan jalan perubahan dalam 2 arah yaitu:
1.      Melestarikan identitas dengan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur pesantren, seperti kesederhanan, keikhlasan, dan kemandirian
2.      Terbuka untuk bekerjasama dengan sistem-sistem di luar dari dirinya yang tidak selalu sepaham, sistem ini bisa dijadikan sistem pendidikan modern.
Untuk inovasi pembelajaran di pesantren Hidayatul Mubtadiin ada 3 macam, yaitu:
a.       Metode pembelajaran tradisional yang diselenggarakan menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah lama digunakan di pesantren
b.      Metode pembelajaran modern yang diselenggarakan melalui proses pembaharuan kalangan pesantren dengan mengadopsi metode-metode yang berkembang di masyarakat
c.       Manajemen pesantren yang dipimpin oleh kyai, karena pemimpin itu akan member pengaruh yang besar kepda santrinya, baik dalam hal sikap, perbuatan, maupun perkataan.[12]

IV.             KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah ini dapat disimpulkan bahwa kurikulum merupakan segala sesuatu usaha yang ditempuh sekolah untuk mempengaruhi (merangsang) belajar, baik berlangsung di dalam kelas, di halaman sekolah, maupun di luar sekolah.Sedangkan sistem pembelajaran adalah satu kesatuan dari beberapa komponen pembelajaran yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ada di pesantren.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kurikulum di pesantren selalu mengalami perkembangan seiring berkembangnya zaman, sebagaimana yang dulu kurikulum hanya menekankan pada pembelajaran agama, sekarang menjadi luas sampai pembelajaran umum.Selaian itu, dari segi pembelajarannya juga mengalami perkembangan, hal tersebut bisa dilihat dari inovasi metode pembelajarannya yang memadukan metode tradisional dan modern yang dipimpin oleh kyai dari masing-masing pesantren.










[1]Mujami Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2013), hal. 108-109.
[2]Abdul Aziz, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2006), hal. 136.
[3]Mujami Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, hal. 109-111.
[4]Mujami Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, hal. 111-122.
[5]Mujami Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, hal.123-130.
[6]Mujami Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, hal. 131.
[7]Syamsul Ma’arif, Pesantren Inklusif Berbasis Kearifan Lokal, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2015), hal. 181-183.
[8]Mujami Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, hal. 134-140.
[9]Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 205.
[10]Umiarso, Pesantren di Tengah Arus Mutu Pendidikan, (Semarang: Rasail Media Group, 2011), hal. 227.
[11]Umiarso, Pesantren di Tengah Arus Mutu Pendidikan, hal. 230.
[12]Umiarso, Pesantren di Tengah Arus Mutu Pendidikan,hal. 235-238.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar