I.
PENDAHULUAN
Pondok
pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan nonformal yang berkembang di
Indonesia.Di dalam suatu lembaga pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai/
cita-cita yang tertuang dalam kurikulum pendidikan. Kurikulum dan pendidikan
adalah dua hal yang tidak dapt dipisahkan, dilihat dari substansinya, kurikulum
harus berkesinambungan antara satu jenjang dengan jenjang yang lain.
Namun,
dalam dunia pondok pesantren yang kita tahu tidak ada kurikulumnya. Padahal, kenyataannya pesantren
itu memiliki kurikulum tapi bukan kurikulum secara resmi dari pemerintah,
karena hal itu merupakan otonomi masing-masing pengasuh pondok
pesantren.Sehingga kurikulum pesantren lebih bersifat pembelajaran yang
tradisional, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ada pesantrenn yang memadukan
kurikulum tradisional dan modern.Selain itu, dalam pondok pesantren juga sistem
pembelajaran yang bermacam-macam, dari mulai sistem pembelajaran umum maupun
agama.
Dalam
makalah ini akan dijelaskan tentang kurikulum dan sistem pembelajaran pesantren
secara lebih dalam.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa
pengertian Kurikulum dan Sistem pembelajaran di Pesantren?
B.
Bagaimana
Kurikulum di Pesantren?
C.
Bagaimana
Sistem Pembelajaran di Pesantren?
D.
Bagaimana
inovasi pembelajaran di Pesantren?
III.
PEMABAHASAN
A.
Pengertian
Kurikulum dan Sistem pembelajaran di Pesantren
Di
dalam pembahasan kurikulum pesantren mungkin agak berbeda dengan kurikulum yang
ada di sekolah, karena pemaknaan dan pemahaman kurikulum pesantren dalam pandangan
para ahli pendidikan telah mengalami pergeseran secara horizontal.Jika asalnya
sebagaimana ditegaskan S. Nasution bahwa kurikulum adalah sebagai sejumlah mata
pelajaran di sekolah yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau
tingkat, maka sekarang pengertian kurikulum diperluas. Perluasan kurikulum
tersebut telah diprakarsai beberapa pakar sekitar tahun 1950-an hingga 1970-an.
Menurut
J. Galen Saylor dan William M. Alexander kurikulum merupakan segala sesuatu
usaha yang ditempuh sekolah untuk mempengaruhi (merangsang) belajar, baik
berlangsung di dalam kelas, di halaman sekolah, maupun di luar sekolah.
Untuk
kurikulum pesantren dalam hal ini mngacu pada pengertian yang luas sesuai yang
diungkapkan Saylor dan Alexander, sehingga bisa meliputi kegiatan-kegiatan
intra-kurikuler maupun ekstra-kurikuler, dan bisa melibatkan di samping
aktivitas yang diperankan santri juga diperankan kyai.Demikian juga
kegiatan-kegiatan yang memilih bobot wajib diikuti maupun sekedar anjuran
termasuk liputan kurikulum ini.[1]
Sedangkan
pengertian sistem pembelajaran adalah satu kesatuan dari beberapa komponen
pembelajaran yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan pembelajaran yang
ada di pesantren. Komponen pembelajaran itu meliputi peserta didik atau santri,
pendidikatau kyai, kurikulum, bahan ajar, media, sumber belajar, proses
pembelajaran, lingkungan dan tujuan.[2]
B.
Kurikulum
di Pesantren
Seiring
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kurikulum dalam pesantren juga
selalu mengalami perkembangan. Hal tersebut bisa dilihat dari perubahan
pembelajaran yang di ajarkan di pesantren, antara lain:
1.
Materi
dasar-dasar keislaman dan ilmu islam
Dasar-dasar
keislaman selalu diterapkan di pesantren, hal tersebut bisa dilihat dari
kurikulum pembelajaran di pesantren yang dulu lebih menekankan pada 3 komponen
ajaran islam yang berupa iman, islam dan ihsan. Sebab disesuaikan dengan
tingkat intelektual dengan masyarakat (santri) dan kualitas keberagamannya pada
waktu itu, sehingga isi pengajian di pesantren berkisar soal rukun iman, rukun
islam, akhlak dan ilmu hikmah.
Pengajaran
dasar-dasar keislaman ini ditempuh karena disesuaikan dengan tingkat kemampuan
santri yang banyak dari masyarakat yang baru saja memeluk islam (muslim).
Mereka perlu diberikan materi pelajaran agama yang paling dasar sesuai dengan
keperluan awal bagi seorang yang mulai mempelajari dan memahami islam.
Selain
itu, dari ilmu yang diajarkan juga mengalami perubahan, yang mula-mula ilmu
yang diajarkan di pesantren adalah ilmu sharaf dan nahwu, kemudian ilmu fiqh,
tafsir, ilmu tauhid, akhirnya sampai kepada ilmu tasawuf.
Dalam
perkembangan selanjutnya, santri perlu diberikan bukan hanya ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan ritual keseharian yang bersifat praktis, melainkan ilmu-ilmu
yang berbau penalaran yang menggunakan referensi wahyu, seperti ilmu kalam,
bahkan ilmu-ilmu yang menggunakan cara pendekatan yang tepat kepada Allah.
Dalam
perkembangannya ilmu-ilmu dasar keislaman seperti tauhid, fiqh, dan tasawuf
selalu menjadi mata pelajaran favorit bagi para santri. Tauhid memberikan
pemahaman dan keyakinan terhadap keesaan Allah, fiqh memberikan cara-cara
beribadah sebagai konsekuensi logis dari keimanan yang telah dimiliki
seseorang, sedangkan tasawuf membimbing
seseorang pada penyempurnaan ibadah agar menjadi orang yang benar-benar dekat
dengan Allah.
Sehubungan
dengan itu, cukup dapat dipahami jika kondisi pendidikan pesantren
diorientasikan pada ibadah kepada Allah dan serangkaian amalan yang
mendukungnya.[3]
2.
Penambahan
dan perincian materi dasar
Pada
abad ke-19, sulit ditemukan rincian materi pelajaran di pesantren, namun ada
sedikit petunjuk secara implisit dari hasil penelitian L.W.C. Van den Berg
sebagaimana yang dikutip Steenbrink bahwa materi tersebut meliputi fiqh, tata
bahasa arab, ushul al-Din, tasawuf, dan tafsir.
Kemudian
kurikulum pesantren berkembang menjadi bertambah luas lagi dengan penambahan
ilmu-ilmu yang masih merupakan elemen dari materi pelajaran yang diajarkan pada
masa awal pertumbuhannya.Pengembangan kurikulum tersebut lebih bersifat rincian
materi pelajaran yang sudah ada daripada penamabahan disiplin ilmu yang baru.
Penambahan materi pelajaran tersebut antara lain: Al-Qur’an dengan tajwid dan
tafsirnya, aqaid dan ilmu kalam, fiqh dengan ushul fiqh dan qawaid al-fiqh,
hadits dengan mushthalah hadits, bahasa arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu,
sharaf, bayan, ma’ani, badi’ dan ‘arudh, tarikh, mantiq, tasawuf, akhlak, dan
falak.
Tidak
semua pesantren mengajarkan ilmu tersebut secara ketat.Kombinasi ilmu tersebut
hanyalah lazimnya diterapkan di pesantren.Beberapa pesantren lainnya menerapkan
kombinasi ilmu yang berbeda-beda karena belum ada standarisasi kurikulum
pesantren yang baik yang berskala lokal, regional maupun nasional.Upaya standarisasi
kurikulum selalu berhadapan dengan otonomi pesantren sebagai pantulandari
otoritas kyai dengan spesifikasi ilmu yang didalaminya.Maka standarisasi
kurikulum barangkali tidak pernah berhasil diterapkan di seluruh pesantren.
Sehingga, pesantren tetap pada kekhususan masing-masing, karena dengan adanya
variasi kurikulum pada pesanten akan menunjukkan ciri khas dan keunggulan
masing-masing. Sedangkan penyamaan kurikulumterkadang justru membelenggu
kemampuan santri seperti pengalaman madrasah yang mengikuti kurikulum
pemerintah.Lulusan madrasah ternyata hanya memiliki kemampuan
setengah-setengah.[4]
3.
Penggunaan
kitab-kitab referensi
Perkembangan
kitab-kitab yang dijadikan referensi pesantren dimulai masa walisongo.Pada masa
walisongo yang digunakan referensi memakai Al-Qur’an, hadits, dan kitab sittina’.Kemudian
pada abad ke-18, pesantren di mataram memakai kitab matan taqrib, bayan
al-hidayat karangan Imam Ghazali dalam ilmu akhlak.
Mulai
abad ke-19, kitab-kitab referensi di kalanganpesantren mengalami perubahan yang
sangat drastis. Perubahan ini bukan saja penambahan kitab-kitab dalam satu
disiplin ilmu, melainkan juga penambahan kitab-kitab yang memuat disiplin ilmu
yang berlainan, antara lain sebagai berikut:
a.
Bidang
fiqh meliputi Safinat al-Najah, Sullam al-Taufiq, Masail al-Sittah, Minhaj
al-Qawim, al-Risalah, Tuhfat al-Habib, al-Muharrar, Minhaj Thalibin, Fath
al-Mu’in dan lain-lain.
b.
Bidang
tata bahasa arab meliputi Muqaddimah al-Ajurumiyah, Mutammimah,
al-Fawaqihal-Janniyyah, al-Awamil al-Mi’at, Inna Awla, Alfiyah, Minhaj
al-masalik, Tamrin al-Thullab, al-Rafiyyah, Mujib al-Nida’, al-Mishbah dan
lain-lain
c.
Bidang
Ushul al-Din meliputi Bahjat al-Ulum, Aqidah al-Sanusi, al-Mufid, Jawharat
al-tauhid dan lain-lain
d.
Bidang
tasawuf meliputi Ihya’ al-Ulum al-Din, Bidayat al-Hidayat, Minhaj al-Abidin,
al-Hikam, Su’ab al-Iman, dan Hidayat al-Azkiya’ ila Thariq al-Awliya’
e.
Bidang
tafsir hanya Tafsir Jalalain
Pada abad ke-20 ditambah lagi dengan kitab-kitab di bidang
hadits,tarikh, ushul fiqh, mantiqdan falak karena tuntutan masyarakat lebih
kompleks. Beberapa peneliti menyebutkan kitab-kitab referensi pada abad ini
bervariasi antara lain: dalam bidang nahwu, Sharaf, fiqh, tauhid, mantiq,
balaghah, akhlak, hadits, tafsir, dan tarikh. Kemudian pada abad ke-21 kitab
yang paling popular di kalangan pesantren adalah Alfiyah dan taqrib[5]
4.
Materi
pelajaran umum dan ketrampilan
Selain
mempertahankan kitab-kitab islam klasik sebagai upaya pelestarian khazanah yang
lama, pada awal abad ke-20 beberapa pesantren juga mulai bersikap progresif
dengan memasukkan pelajaran-pelajaran umum.[6]
Tebuireng misalnya, terdapat program-program yang sengaja dirancang secara
terintegrasi antara program pondok yang dipahami sebagai masjid dan tempat
ilmu, dengan membuka program yang disebut “majlis ilmi” dengan “pesantren” yang
dipahamisebagai pelajaran diniyyah yang berbasis pada kitab kuning, dan
biasanya diintegrasikan oleh setiap unit pendidikan pesantren Tebuireng, yaitu
SMA, MA, SMP dan MTs. Seluruh siswa sekolah ini, setelah mengikuti pelajaran
formal dan kembali ke pondok diwajibkan mengikuti program pondok.
Para
santri dengan program pondok ini, dapat mendalami Al-Qur’an dan kitab kuning.
Untuk pengajian Al-Qu’an dibagi dalam 3 kelompok, yaitu:Kelompok pengajian
ba’da subuh, kelompok Tilawah Al-qur’an dan kelompok Fasahah.
Sementara
untuk pengajian kitab kuning terbagi dalam 3 kelompok antara lain:
a.
Pengajian
Takhassus. Terdiri dari takhassus Bandongan dan Sorogan
b.
Diskusi.
Untuk kegiatan diskusi biasanya menggunakan kitab standar Fathu al-Qarib,
dilaksanakan setiap malam selasa ba’da isya’ sampai pukul 23.00 WIB. Kegiatan
ini diikuti oleh santri setingkat SLTA, MA, SMA, dan Madrasah Mu’allimin,
dengan pembimbing dari Ma’had Aly dan guru-guru senior
c.
Adapun
kurikulum dan metode pembelajarannya masing-masing tingkatan berbeda.[7]
Disamping pembelajaran agama yang dipaparkan di atas, pesantren
Tebuireng mengalami perubahan kurikulum yang ditandai dengan masuknya materi
pelajarn umum, antara lain: bahasa Indonesia, matematika, IPA, IPS, bahasa
inggris dan lain-lain.
Contoh pondok pesantren lain yang menerapkan mata pelajaran umum
yang beragam adalah pesantren modern di Pabelan yang mempelajari matematika,
fisika, dan kimia, bahasa asing (arab dan inggris), teknik pertanian,
perkebunan, perunggasan, perikanan kolam dan lain-lain. Demikian juga yang terjadi di Darul Falah. Pesantren
pertanian ini sejak awal telah memberikan pelajaran pertanian, teknik, sosial,
ekonomi, matematika, pengetahuan alam, dan bahasa. Selain itu, Darul Falah juga
memberikan pelajaran lain yang terintegrasi dalam kelompok pengetahuan dan
pengalaman ajaran islam, praktikum dan latihan ketrampilan bertani, beternak
atau pertukangan.
Demikian usaha pesantren memberikan bekal para santri baik dari
ilmu agama, umum maupun ketrampilan. Karena hal itu adalah sebagai prospek
pesantren dalam mengembangkan dinamika keilmuan dalam islam dituntut mampu
mengaktualisasikan diri di tengah-tengah masyarakat. Pengembangan dinamika
keilmuannya harus mampu menjadi sarana pemandu transformasi sosial dan
kontekstualisasi ajaran islam dalam tatanan kehidupan masyarakat. Untuk itu ada
3 hal yang menjadi tuntutan pesantren, yaitu sebagai berikut:
a.
Harus
dinamik, artinya tanggap terhadap perubahan sosiokultural dan tuntutan-tuntutan
lain
b.
Harus
bermutu, terutama dalam pelayanan program-program yang ditawarkan
c.
Harus
relevan, yaitu cocok dengan kebutuhan masyarakat dan nilai-nilai idealisme yang
diembannya[8]
C.
Sistem
pembelajaran di Pesantren
Di
dalam pembelajaran pesantren, antara 1 pesantren dengan pesantren yang lain itu
berbeda, sehingga kami mengambil contoh sistem pesantren PPMI Assalam.
Pendidikan pesantren PPMI Assalam merupakan usaha sistematis untuk
mengembangkan potensi spiritual dan ta’abudiyah santri dalam rangka
mewujudkan profil santri yang memiliki akhlakul karimah.Pendidikan pesantren
diselenggarakan dalam 3 hal, yaitu kurikuler, kegiatan kokurikuler, dan
ekstrakurikuler.[9]
Kegiatan
kurikuler ditekankan pada aspek kognitif, karena diselenggarakan melalui model
kurikulum persekolahan, ko-kurikuler pada aspek afektif yang diselenggarakan
melalui model pengalaman hidup, dan ekstrakurikuler menekankan pada
psikomotorik yang diselenggarakan melalui model pendidikan ketrampilan.
Kegiatan kurikuler pesantren PPMI Assalam didefinisikansebagai suatu kegiatan
pendidikan yang memuat 9 mata pelajaran yang diamsukkan ke dalam struktur
kurikulum sekoalah, antara lain:
1.
Bahasa
Arab
2.
Bahasa
Inggris
3.
Aqidah
4.
Akhlak
5.
Tauhid
6.
Fiqh
7.
Sejarah
Islam
8.
Tariqat
Al-Qur’an
9.
Qiraat
Al-Qur’an
Untuk kegiatan kurikuler pembelajaran pagi hari, antara jam
07.00-12.00 WIB. Kegiatan tersebut diikuti seluruh santri PPMI Assalam. Karena
hal itu merupakan salah satu cara mendisiplinkan santri dalam pendidikan dan
pengajaran yang telah diterapkan.[10]
Adapun kegiatan ko-kurikuler di pesantren itu dilakukan untuk
mendukung kegiatan kurikuler. Kegiatan ini diberikan dalam bentuk mata
pelajaran, sebagai berikut:
1.
Al
Muhadarah sebagai bentuk ketrampilan berpidatoh, baik dalam bentuk bahasa
Indonesia, arab, maupun inggris.
2.
Mukhadasah
3.
Dirasah
At-Tafsir
4.
Qiraah
Al-Kitab
Selain mata pelajaran yang ada di atas, ada kegiatan lain yang
dilakukan oleh santri PPMI Assalam, yaitu Halaqoh yang dilakukan setiap malam
jum’at setelah sholat magrib.[11]
D.
Inovasi
Sistem Pembelajaran Pesantren
Berdasarkan
hasil penelitian pelaksanaan inovasi pendidikan di salah satu pesantren yaitu
Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Ngunut Tulung Agung adalah dengan
jalan perubahan dalam 2 arah yaitu:
1.
Melestarikan
identitas dengan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur pesantren, seperti
kesederhanan, keikhlasan, dan kemandirian
2.
Terbuka
untuk bekerjasama dengan sistem-sistem di luar dari dirinya yang tidak selalu
sepaham, sistem ini bisa dijadikan sistem pendidikan modern.
Untuk
inovasi pembelajaran di pesantren Hidayatul Mubtadiin ada 3 macam,
yaitu:
a.
Metode
pembelajaran tradisional yang diselenggarakan menurut kebiasaan-kebiasaan yang
telah lama digunakan di pesantren
b.
Metode
pembelajaran modern yang diselenggarakan melalui proses pembaharuan kalangan
pesantren dengan mengadopsi metode-metode yang berkembang di masyarakat
c.
Manajemen
pesantren yang dipimpin oleh kyai, karena pemimpin itu akan member pengaruh
yang besar kepda santrinya, baik dalam hal sikap, perbuatan, maupun perkataan.[12]
IV.
KESIMPULAN
Dari
pemaparan makalah ini dapat disimpulkan bahwa kurikulum merupakan segala
sesuatu usaha yang ditempuh sekolah untuk mempengaruhi (merangsang) belajar,
baik berlangsung di dalam kelas, di halaman sekolah, maupun di luar sekolah.Sedangkan
sistem pembelajaran adalah satu kesatuan dari beberapa komponen pembelajaran
yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ada di
pesantren.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa kurikulum di pesantren selalu mengalami perkembangan seiring
berkembangnya zaman, sebagaimana yang dulu kurikulum hanya menekankan pada
pembelajaran agama, sekarang menjadi luas sampai pembelajaran umum.Selaian itu,
dari segi pembelajarannya juga mengalami perkembangan, hal tersebut bisa
dilihat dari inovasi metode pembelajarannya yang memadukan metode tradisional
dan modern yang dipimpin oleh kyai dari masing-masing pesantren.
[1]Mujami Qomar, Pesantren
dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, (Jakarta:
Erlangga, 2013), hal. 108-109.
[2]Abdul Aziz, Filsafat
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2006), hal. 136.
[3]Mujami Qomar, Pesantren
dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, hal. 109-111.
[4]Mujami Qomar, Pesantren
dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, hal. 111-122.
[5]Mujami Qomar, Pesantren
dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, hal.123-130.
[6]Mujami Qomar, Pesantren
dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, hal. 131.
[7]Syamsul
Ma’arif, Pesantren Inklusif Berbasis Kearifan Lokal, (Yogyakarta:
Kaukaba Dipantara, 2015), hal. 181-183.
[8]Mujami Qomar, Pesantren
dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, hal. 134-140.
[9]Abdullah Aly, Pendidikan
Islam Multikultural di Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal.
205.
[10]Umiarso, Pesantren
di Tengah Arus Mutu Pendidikan, (Semarang: Rasail Media Group, 2011), hal.
227.
[11]Umiarso, Pesantren
di Tengah Arus Mutu Pendidikan, hal. 230.
[12]Umiarso, Pesantren
di Tengah Arus Mutu Pendidikan,hal. 235-238.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar